Melt My Ice

Mereka memintaku untuk mengikuti kata hati, lalu setelah itu hati kembali patah lagi.
Beruntunglah Tuhan menciptakan logika sebagai penyeimbang, bahwa hati mengarah rapuh logika membawa sembuh.
Logika mengajarkan bahwa laut dan pantai adalah dua hal yang berbeda, kau dan aku ialah sesuatu yang tak mungkin sama.
Sudah. Dalam perdebatan ini jelas sekali bahwa logika akan selalu juara, dan hati kembali berdarah penuh luka.
Dari dan untuk segala yang patah, demi setiap tetes air yang tumpah, sudah saatnya bagi hatimu untuk sejenak merebah.
Hidup bukan hanya perihal yang kau perjuangkan, bukan? Setiap ingin tidak harus selalu diamini, kan?

Puisi dari IG dengan hashtag #tempatrebahmu itu sejenak mengalihkan tatapku. Menerawang. Dan berakhir di satu memori diantara memori-memori sukacita dan sendu masalalu.

Aku lelah.
Pun kenapa tulisan-tulisan kebanyakan lebih lancar tertuang ketika galau dan rindu melebur-menyatu..?

Screenshot_20200415-203610

Taken from: Pinterest

DINGIN

Aku sedikit tertegun. Ketika aku ingin mengutarakan, tapi tidak tahu harus memulainya darimana. Kalimat-kalimat yang seakan tercekat. Erat. Menyumbat kerongkongan yang tiba-tiba berat, yang padahal biasanya begitu lancar digunakan untuk mendebat. Menjadikan tulisan-tulisan ini terekspos sedemikian lambatnya. Tersendat.

Kuputuskan memulainya dengan menyusun subjudul, ketika judul utamanya pun belum tersiratkan sama sekali di pikiran, tertimbun memori-memori yang lagi-lagi berantakan.

AC di ruangan kerjaku kurasa sedikit memaksakan diri. Entah AC sejak abad berapa yang dipasangkan di salah satu ruangan tempat kerjaku ini. Tipis sekali angin yang dihasilkan. Ini mending sekali, posisi jaga malam. Kalau jaga pagi dan sampai menemui siang, wah, kalau ibarat ayam geprek, level hotnya mungkin sudah level 7.
Hah~
Kasihan poro-poro yang lewat ataupun mampir ke ruang kerjaku.
Tapi kali ini beda.
Ia, seperti berkerja lebih keras dari biasanya sehingga udara terasa lebih dingin. Apa hawanya saja yang memang berbeda sehingga terasa lain?

Snack malam sengaja kuambil. Kucoba menikmati.
Hmm.. bolunya enak, lembut, manis pula. Lantas udara di perut kurasa sedikit membegahkan seusai kubilas mulutku dengan air mineral-yang jika tidak habis nanti rencananya akan kubawa pulang karena besarnya botol air yang kubawa.

Televisi mati. Padahal tadi nyala. Entah siapa yang mematikan tombol powernya.
Hening pun menyelimuti ruangan. Diikuti bisikan-bisikan yang mengarahkan lamunanku menuju “saat itu”. Mendadak dingin. Semakin dingin. Entah se-frozen apa sikapku kala itu, yang jelas lebih frozen dibanding saat ini.

Mungkin aku terlihat mendiamkan”nya”. Terkesan membisukan lisan untuknya. Atas alasan apa, aku juga tidak terlalu mengetahui. Yang jelas, aku merasakan ada rongga besar luka yang masih sangat basah dalam hati kala itu. Tersentuh kalimat sedikit saja rasanya seperti lukaku ditabur debu-debu yang lembut tapi begitu pedih terasa. Hingga berharap apa yang “kemarin” terjadi hanyalah mimpi, tapi tetaplah sakit ketika menampar pipi. Jelas sekali artinya “itu” kejadian nyata, dan aku harus melaluinya.

Bergeming. Aku tidak peduli. Kupaksa saja berjalan tanpa menoleh kanan dan kiri. Bukan lagi sikap dingin. Melainkan tatapanku saat itu sepertinya berubah menyiratkan egois. Dicengkeram sikap sadis.

Mau bagaimana..? Sejatinya aku masih sangat bahagia melihat adanya kedatangan. Tapi terasa menderita ketika muncul kalimat sapaan. Jawab, mau bagaimana lagi, selain kubalas dengan kebisuan..? Ketika lisan pun tak sanggup lagi untuk menceritakan..?

HANGAT

They never understand ’bout how frozen i am, ’till someone starts to melt my ice.
20200415_212746

Taken from: weheartit.com

Kini sepertinya dia sudah paham bagaimana aku. Dan bagaimana menghadapiku. Maka setelah dirasa sudah cukup waktuku untuk bersembuh, dia lah yang mencoba memperbaiki komunikasi yang tidak sengaja kurusak kala itu.
.
.
.
Maaf, aku memang lemah dalam hal itu. Komunikasi bertahun-tahun yang dibangun dengan penuh rasa cinta pun bahkan bisa aku hancurkan dalam waktu 5 detik jika aku mau.

Tapi jika aku boleh menyatakan pembenaran atas sikap, aku melakukannya karena aku ingin menetralkan perasaanku. Juga, tidak ingin lebih robek lagi selama masa penetralannya. Maka di sisi lain, ada keyakinan bahwa suatu saat komunikasi kami akan baik kembali. Tidak lagi membara, tidak juga redup oleh hujan angin yang begitu mencekam dinginnya.
Terasa hangat. Saling sapa satu sama lain. Juga kembali nyaman bercanda dengan yang lain. Bukan lagi hanya bergantung pada “peka” buatan yang selama ini mungkin salah kuartikan.

Memang tergantung bagaimana aku. Jadi…
Entahlah. Kita lihat saja.

Apapun itu, semoga baik.

LANGKAH PERTAMA

Rajab 1441 Hijriyah.

Sepertinya bulan tersebut menjadi titik sadarku di tahun ini. MaasyaAllaah.. aku malu..
Bagaimana tidak? Ketika Rajab dijadikanNya sebagai bulan menanam amalan untuk dipanen di Ramadhan.. aku.. menanam amal ala kadarnya.
Rajabku sedikit keteteran. Tidak ada persiapan bibit unggul di bulan sebelumnya. Seharusnya kupersiapkan itu paling tidak 1 bulan sebelum Rajab datang..
Hah~
Maka semakin hari aku semakin bertambah malu. Menatap rajinnya saudari-saudariku di grup-grup WA yang begitu tinggi semangatnya. Hingga akhirnya berhasil membuatku tergugu. Kalau seperti ini terus, bagaimana bisa aku berhasil di Ramadhan..? Bagaimana bila aku tertinggal dari rombongan menuju surgaNya..?
Ketika yang lain sibuk berkutat dengan amalan-amalan kebajikan demi mendapatkan ampunan Tuhannya, sedangkan aku..? Aku dengan santainya berkutat dalam angan-angan panjang yang seringkali kambuh kala warna senja menjanjikan sembuh.. sembari mengujar bahwa tidak apa-apa, itu hanya amalan tambahan.. Lantas apa kabar kata “peka”? Bashirah yang sejati…? Faghfirliy.. 😢
🍃🍃🍃

Sampai pada saatnya, aku menerima sebuah pesan Whatsapp. Agak panjang. Maka di bawah ini kucuplikkan sedikit saja dari banyaknya kalimat-kalimat penyadaran, dan untaian siraman yang alhamdulillaah menyejukkan hati yang sudah lama gersang tergerus dunia.

           || “……..pemuda hari ini juga kesulitan untuk benar benar menikmati berduaan dengan Rabb nya, dan jauh tentang bagaimana mencintai Nya…
Semua karena itu dilakukan dalam diam, tak ada yg melihat, tak ada yang mengakui…

Semangat ibadah, memanjangkan shalat, menjadi nasehat kosong yang sulit dipahami oleh generasi ini, mereka kagum, namun sulit berubah menjadi amal…karena semangatnya hanya tumbuh sebentar kemudian padam…

Itulah kenapa, Qiyamul Lail tak pernah sendiri,.. *Qiyamul lail selalu punya pasangan…*

Karena bila ruh itu ibarat merpati, maka Qiyamul Lail hanyalah satu dari dua sayapnya…
Tentu…dengan sayap yang tak lengkap, merpati akan tetap hidup, namun menjadi kepastian bahwa kesulitan untuk terbang tinggi…

Maka…

Lengkapi lah sayap itu, karena dengannya akan kesulitan kita menemui kebuntuan Qiyamul Lail, bahkan kalau kita mau, karena dengan 2 sayap ini, ruh akan mulai terbimbing, ruh akan mulai tertazkiyah, dan ruh akan memulai pensuciannya dengan kehendak Rabb nya…

Dan sayap ini, seperti yang disebutkan Abu Ishaq As-Sabi’i,…
Bila malam mampu hidup hanya dengan Qiyamul Lail, maka siang akan mampu hidup hanya dengan shoum…

Ya….bila sayap2 ruh itu yang satu adalah Qiyamul Lail, maka yg lainnya adalah puasa…

 Mampu dan siapkah kalian melengkapi ruh kalian, agar mampu terbang melesat tinggi, dan memandangi remeh dunia dari ketinggian?? ||

Tertohok batin ini. Alhamdulillaah, akhirnya remuk juga..

Lantas.. Perlahan tali-tali sambungan-sambungan kata tadi sempurna membuatku memutuskan melangkah untuk yang pertama kalinya.
.
.
.
Aku, dengan segenap asaku, berharap, hingga berdoa.. Rabbiy.. aku ingin sembuh.. semua ini memayahkan ruhku.. maka.. izinkan aku.. mampukan aku berpuasa lebih banyak di Sya’ban nanti.. Yaa Robbana.. aku rindu Engkau.. maka ampunilah aku..

SYA’BAN   MERINDU

Sulit untuk bersamamu..
Semakin sulit setiap harinya..
Aku tidak tahu apa aku benar-benar mencintaimu
Aku yakin bahwa ini hanya permainan hidup
~petikan puisi by Kahlil Gibran

Dari langkah pertama, kuputuskan untuk aku melangkah lagi, lagi dan lagi. Setiap hari. Meski tanpa (merasa) dimiliki. Sedangkan perasaan disini selalu memaksakan kehendak, bahwa aku (masih) memiliki.

Sekedar ucapan terimakasih untukNya, yang telah sudi mengambilku dari lautan gelap, dimana aku sempat tenggelam di dalamnya. Pengap.

Iya. Segala puji dan syukur untukNya…
Sungguh, setelah diselamatkan, aku masih berharap Dia mengabulkan hasrat dan asa ini. Tentang kesuksesan di Bulan Ramadhan.. tentang keberkahan yang diberikan di bulan mulia tersebut. Tentang kenikmatan beribadah dalam waktu-waktu penuh pahala berlimpah itu..

Sya’ban merindu. Akupun begitu. Terimakasih (lagi) Rabbiy, telah hadirkan rasa yang begitu haru. Meski berakhir sendu, setidaknya hati ini tak lagi beku.

Sya’ban merindu… dan aku masih menunggu.. Takdir apa yang selanjutnya tertulis untukku..

IMG-20191115-WA0010

Foto lawas yang masih senantiasa menenangkan sampai saat ini 💝

Once more, thank you Rabbiy… 💐

15 April 2020

S.N.H ⚘

A (not) Sweet “Good Night”

e99a932dc14dad16ff531af116b85bad

Taken from: Pinterest

🎧
🎵🎶🎶
Bagaimana caranya ‘tuk buatmu kembali
Tersenyum manis bahagia
Bersama diriku~ 🎶🎶🎶
(Eh salah ngga sih liriknya? Ah tau deh ah)

The Sign

Mas.. hari ini aku di rumah. Mudik. Tanpa mengetik kalimat pamit kepadamu sebelum berangkat. Seperti biasa, aku motoran, dengan Vega hitamku yang sudah 9 tahun menemani perjalananku sejauh apapun jarak tempuh membutuhkan waktu.
Seperti beberapa hari sebelum ini, aku ingin cerita. Sekedar bercerita, Mas. Mungkin saja akan kubumbui dengan kalimat basa-basi yang tentunya tidak terlalu indah sebagai sapa. Dan mungkin juga paragrafku nanti akan terasa sedikit lebih hambar dari biasanya. Meski yang biasanya pun juga tidak terlalu bisa dinikmati dalam hal estetika dan rasa.
Mungkin yang bisa dinikmati hari ini hanyalah lagumu di bawah judul tulisanku diatas kali ini.

.

.

Mas, kamu suka senja? Aku suka, Mas. Sukaaaa sekali. Menurutmu, apa yang lebih indah dari sebuah senja?
Bagiku, pertemuan, Mas. Pertemuan itu indah sekali. Terlebih jika ianya adalah pertemuan yang diharapkan. Pertemuan yang dinantikan. Pertemuan yang dirindukan.
.
.
Mas.. Kamu tau? Kemarin ada yang bilang aku cantik. Tapi Mas, aku tidak terlalu mengenal orangnya, sekedar aku tau namanya dan dia keluarga siapa, itu saja. Dia tau aku ketika aku masih tinggal di Sirnoboyo kala itu. Iya Mas, dia saudara temanku yang rumahnya kutinggali itu.. Dia sempat melihatku di hari pernikahan temanku itu. Di Kampoeng Pacitan, sebuah resto berlingkungan nyaman yang lebih dari cukup untuk sekedar memberi kesan, dia ternyata memperhatikanku.
Mas, orang itu selain bilang aku cantik, dia juga dengan segenap kepedeannya bilang kangen kepadaku. Dia pun sempat mengetik kata-kata cinta, Mas. Entah apakah itu kalimat sengaja atau dia benar-benar tidak sengaja membuat ketikannya itu menjadi kalimat yang dia kirimkan padaku. Bukan pengungkapan, tapi aku tidak paham maknanya. Anggap saja aku gagal paham. Hanya aku tau arah bicaranya suatu saat akan kemana. Iya, ada beberapa tanda, yang siapa saja pasti akan menebak hal yang sama apa tujuan akhirnya. Dan kamu tau, Mas? Aku, kurang nyaman dengan hal itu.

Imaji yang Semakin Pekat

Rasanya aku ingin meminta tolong padamu, Mas. Minta agar kau di depanku, bertindak sebagai bentengku bahwa aku tidak bisa sembarangan digoda oleh para lelaki yang mendadak berperan sebagai pahlawan itu.
Tapi Mas, di saat yang sama, aku merasa seperti kamu telah menaruh hati pada seseorang yang aku sendiri tidak tau siapa. Mas, ada apa..? Kenapa dengan perasaanku..? Bisakah aku menerima klarifikasi darimu malam ini juga jika bisa kutunggu..? 😢 Baik. Sepertinya “jumpa pers” tentang perasaanmu itu masih hanya menjadi harapku yang masih saja semu.

.

.

Mas.. Hari ini bahkan aku merasa bahwa aku benar-benar akan berkata padamu tentang berpamit suatu saat nanti. Entah kapan, Mas. Tetesan ini kembali merinai seperti hujan. Padahal ini masih kemarau. Memekatkan imaji seputar saat kamu dan aku duduk lantas aku mengatakan segala hal yang akan menjadi masa depanku, tapi tidak bersamamu.

Saat ini, peran Minke dalam novel Bumi Manusia seperti masih melekat di dalam jiwaku. Membuat aku merasa bahwa aku yang berperan sebagai seorang Minke itu akan ditinggalkan seseorang bernama Annelies, dalam wujud lain, dalam masa yang berbeda. Reinkarnasi mungkin?

Mas, aku masih takut. Takut jika aku bersama orang lain nanti aku masih terbayang olehmu. Takut jika kenangan-kenangan yang terlalu manis itu datang di saat aku membangun cinta. Takut jika memori itu membuatku membandingkan kamu dengan dia yang entah siapa akan menjadi imamku. Dan… takut jika kekhawatiran yang berlebihan ini terjadi.

.

.

Mas, jika suatu saat aku memang ditakdirkan bersama orang lain dan tidak bersamamu dalam bahtera bersebut rumah tangga itu, kuharap aku benar-benar bisa melupakanmu. Menyimpan rapat dan kedap segala hal tentangmu, tentang kita, yang sampai detik ini masih suka sekali berkeliaran seperti awan menjelang musim penghujan.

Mas.. sampai detik ini juga, aku bersyukur sekali bahwa aku masih bisa bersyukur. Jujur saja Mas, aku lagi-lagi takut jika aku, menjadi seseorang yang benar-benar tersesat setelah ditinggalkan oleh seseorang yang ingin kudekap begitu erat. Karena seperti yang telah kamu tau, aku sempat sedikit depresi kala itu. Kalimat-kalimat yang tidak sadar membuatku mengetik dan berbuat seperti seolah bukan aku di hari biasanya. Aku, yang seperti tidak menjadi aku kala itu.

Rapunzel di Sela Senandung Sendunya

Trus aku kudu ngapain di kastil..? Diem doang sampai maut dateng? Udah sendiri, ditutup rapat, dikunci pula. Dengan tempelan berjuta peraturan di dinding untuk harus ini itu begini, buat apa? Cuma buat 1 orang yang inginnya hanya kabur, kabur dan kabur, yang akan begitu bersyukur ketika bisa bebas meski sementara. Masih untung ruangan ini tidak pengap” ~keluh Rapunzel di sela senandung sendunya.

Karena kamu begitu berharga,” bisik seseorang. Membuat Rapunzel dengan mudah melanjutkan tangisnya yang belum lama pecah. Mensyukuri bahwa tidak ada pasung di dalam kastil mirip penjara ini.

.

.

Mas, itu cuplikan dongeng ngarang yang aku ketik saat aku sedang dalam kondisi gabut seperti sekarang ini. Sejak awal, aku merasa seperti seorang Rapunzel yang dikurung di dalam kastil. Sejak kecil, Mas. Aku tidak bisa dengan bebas bermain seperti anak-anak yang lainnya. Pekerjaanku hanyalah belajar, membaca, mengaji, taat pada orang tua, sopan pada siapa yang datang ke kastil, berlatih lembut pada siapa atau apapun yang hadir di depanku. Bahkan televisi pun jarang sekali mengeluarkan suara dan gambarnya karena dipaksa mati di jam-jam yang dikhawatirkan mengganggu proses dewasaku nanti. Benar-benar terdidik sebagai seorang putri. Bahkan Mas, kamu tau? Aku sempat dikatakan “putri solo”, yang sayangnya aku lupa siapa saja yang mengatakannya. Entah apakah sebagai pujian atau malah sebagai bahan olokan karena aku begitu “lemah”. Yang jelas perasaanku sedih sekali kala itu.

.

.

Tapi aku harus mensyukurinya kan, Mas? Iya. Masih banyak hal yang masih harus kusyukuri. Setidaknya aku masih bisa belajar banyak hal, meskipun banyak juga hal yang sebenarnya bisa kukembangkan jika aku bermain lebih jauh lagi.

Duh Mas, kok tulisanku jadi kesini ya arahnya? Ga nyambung banget wkwk. Tapi ya gimana, masalahnya di kastil aku tidak diajarkan tentang bagaimana mengobati hati yang patah karena cinta. Maka sampai kini aku terkadang masih suka nyasar menyikapi orang yang patah hati ataupun diri yang dipatahkan dengan cara yang hampir saja menurutku tidak lagi manusiawi.

Eh, udah ya, udah udah. Balik ke topik awal aja gimana? 😅 Anggap saja curcol semata.

Kekhawatiran

Atas nama pelampiasan, penolakanku untuk orang yang kuceritakan di awal tadi sepertinya cukup komplit untuk dijadikan sebuah alasan dia akan membenciku pada akhir perpisahan yang aku tidak tau kapan.

Mas, aku harus bagaimana..? Bagaimana jika dia yang awalnya berkata aku cantik malah berbalik mengolok-olok? Bagaimana jika dia yang awalnya mengungkap rindu padahal baru pertama dia bertemu malah berubah menjadi tak tau malu mengumbar burukku..? Bagaimana jika dia yang sempat bilang cinta tapi perasaan itu tak kuterima malah berbelok lidah mencaci atas nama benci?

.

.

Ah, lagi-lagi aku menanyakan hal yang mudah sekali jawabannya. Bukankah jawabannya adalah “tidak apa-apa” dan “apa salahnya”?

Mas… ini semakin membuatku trauma…

Hah~
Yowes Mas. Aku letih.
Inhale – exhale seperti sudah tidak terlalu mempan untuk memberikan solusi. Yah tapi setidaknya masih bisa sedikit menenangkan otak kiri.
Baiklah mari kita akhiri saja tulisan hari ini dengan sedikit bersenandung agar tetap waras hati 😄😄😄

🎧
🎵🎶🎶
…. Mungkin~
Ku tak akan mampu
Menghapus dirimu melupakanmu~
Selalu tentang dirimu
Yang aku puja, dan terus  mengenang.. 🎵🎶🎶🎶

Yaelah tetep aja yak senandungnya melow 😅
Ganti aja kalimatnya: Baiklah. Mari kita akhiri tulisan hari ini dengan cuplikan gambar yang sedikit menyiratkan sebuah harapan dan ucapan selamat malam.

IMG-20190903-WA0000

Taken at: Teleng Ria, Pacitan, Jawa Timur

Mimpi yang indah ya, Mas.

 

~S.N.H.

How Could this Happen to Me (?)

Masih ada waktu yang lebih kekal
Yesterday… Kemarin malam tepatnya… Ada seseorang yang sedang bersedih hati. Dia bercerita padaku. Chatting. Banyak sekali hal. Begitu banyak. Sampai aku sendiri tak punya jeda waktu bahkan untuk berkomentar tentang ceritanya, apalagi memberinya solusi. Dia menyuruhku untuk mendengarkannya terlebih dahulu. Ya, aku pun setia menjadi pendengar baiknya.
Cerita demi cerita kudengar. Aku seakan merasakannya dalam bayangan pendengaranku. Dan setelah beberapa cerita tersalurkan ke telingaku aku tersentak. Sentakan dari salah satu part cerita yang mungkin memang sebagai puncak permasalahannya. Klimaks. Hingga tak tahu bagaimana harus berbuat. Penyesalan demi penyesalan yang sangat terasa ketika teringat kenapa dia melakukan ini-itu, kalimat “seandainya”, kemudian menjalar ke bagian menyalahkan yang lain dimana akhirnya dia menyalahkan takdir. Takdir adanya orang-orang yang memang diberikan Tuhan untuk mengisi hari-harinya itu dengan perannya masing-masing, dimana ia sampai ingin semua yang saat ini sedang ia anggap sebagai “perusuh” hidupnya itu lenyap, tak ingin ada di sekitar mereka. Dan ia hanya bisa menangis karena tak dapat berbuat apa-apa. Ya, tak dapat berbuat apa-apa. Ketika merasa terlalu lemah untuk menyerang, padahal seharusnya bisa membalas. Ia tak ingat bagaimana alur cerita orang-orang yang berhasil membuat kacau harinya itu bisa melakukan hal-hal yang tak diinginkannya. Yang pasti helaan nafas panjang menandakan ia benar-benar dibuat putus asa. Nyaris, entah sampai mana kenyarisan itu. Sedikit agak jauh mungkin.
Aku pun hanya bisa menatapnya. Hingga dia mempersilakanku berkomentar dan memberikan solusi terbaik. Aku masih berpikir keras bahasa apa yang kiranya bisa kuberikan padanya, setidaknya untuk meredam egonya terlebih dahulu. Kemudian aku berkata,”Kamu hidup dimana sih?”
“Heh? Maksudnya?”
“Ya kamu itu sekarang hidupnya ada dimana? Mudeng?”
“Engga. Em..bumi gitu maksudnya?”
“Hehe iya. Nah kan hidup di bumi cuma bentar, inget aja waktu perbandingan antara bumi dan langit. Cuma beberapa menit di bumi tuh.. Sabar bentar…”
“Emang dipikir ga kerasa lama apa kalo njalanin. Kaya ga pernah dapet masalah yang besar aja kamu”
“Istighfar…” (sambil kasih emot senyum)
“Trus gimana…”
“Em… kamu pernah denger ga sih bedanya orang sabar dengan orang yang suka marah-marah, memaksakan kehendak, membalas, dsb?”
“Ya beda lah. Kan sabar diem aja, ngalah, tapi.. Ah malesin! Capek tau sabar terus. Udah ga mempan yo kalo nasehatin nyuruh sabar doang tuh.”
(emot ketiwi) “Iya, iya.. yaudah gini deh, aku kasih tau aja nih ya.. Kalo orang sabar itu secara ga sengaja udah memohon pada Tuhan untuk membalas lhoh. Nah, kalo orang yeng kedua tadi tuh, orangnya ibarat maksain kehendak tanpa ridhoNya. Kalo aku sih pilih yang pertama. Udah dapet pahala sabar, trus dapet bonus pembalasan otomatis lagi dariNya ^_^ ”
“Em.. Gitu ya? Emang pasti dibales ya?”
“Ya iya.. Tapi ya perkara Tuhan mbalesnya gimana ya terserah Dia.. Yang penting kita yakin aja dulu.. Gimana? Mau?”
“Hemt..”
“Tapi ga perlu doain yang jelek-jelek, ga perlu mohon-mohon juga biar dibales sejelek-jeleknya, hehe..”
“Kenapa? Kan aku korban”
“E-e-e, Siapa sih yang ga pernah melakukan kesalahan? Siapa juga sih yang ga pernah merasa terdzalimi? Pasti kita semua pernah mengalaminya kan? Nah… Mungkin dia sedang stress, atau ada faktor lain juga yang bikin dianya bersikap kaya gitu”
“Ya itu masalahnya dong, kalo stres ya gausah lampiasin ke orang lain gitu lhoh..”
“Ya itu dia masalahnya buat kamu, kan kamu jadi korban kan hehe”
“Hash…”
“Ya sekarang gini, kalau kamu berhasil dibuat nge-down sampe malas memikirkan hal-hal lain yang lebih penting tuh sama mereka-mereka, bukannya mereka malah berhasil? Bersuka ria tuh mereka di hatinya bisa menang melawan kamu. Kamunya kan ngalah tuh, nah biar impas, pakenya pedang sabar aja.. Aku kutip kalimat dari temenku ya.. “Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan tidak semua hal harus ditanggapi bukan?” tuuuh… jawab coba, iya, atau engga?”
“Iya sih.. (emot senyum)
Ya. Kalimat penghibur coba kusiramkan ke hatinya, agar tertutup api yang terlalu besar membara padanya saat itu. Entah apa yang kemudian dirasakannya tapi semoga hati dan imannya kuat kembali. Dan chatting pun berhenti dengan saling mengucap salam “mesra”.
Memang. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan tidak semua hal harus ditanggapi. Sungguh. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan selain meratapi nasib. Ingat kan firman-Nya, yang artinya berbunyi “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran
Maka biarkan… Biarkan saja… Masalah ada memang untuk dihadapi. Kunyah saja perlahan sedikit demi sedikit masalah itu dengan lembut. Jika memang masalah itu masih terasa amat dan sangat berat untuk dikunyah, tak habis-habis dan malah semakin pahit karena tak kunjung bisa ditelan, maka beristirahatlah sejenak. Lihat ke belakang, tanya pada diri sendiri apa sih yang salah sampai-sampai masalah seberat itu datang? Kalau memang selama ini proses hidup kita dirasa sudah ada di jalan-Nya, benar dan jujur prosesnya, maka bisa jadi memang teman-teman kita atau orang-orang di sekeliling kita dihadirkan untuk menguji seberapa besar dan kuat keyakinan kita pada kuasa-Nya atas diri kita. Maka ketika diri sudah sampai puncak ego negatif, menganggap orang lain sebagai “perusuh” hidup, istighfarlah. Lalu? Ya sudah, sabar saja, biarkan dulu. Toh harga diri juga tidak ditentukan oleh perkataan orang. Ibarat “biarkan anjing menggonggong dan kabilah tetap berlalu”. Tapi bukan berarti lantas tak peduli dengan masalah itu lho yaa. Masalah tetap harus diselesaikan agar tak menjadi PR hidup kita. Agar tenang tak ada tanggungan. Pendapat berseberangan itu wajar, namanya juga manusia. Maka berpendapatlah sebatas apa yang kita butuhkan untuk menanggapinya. Luruskan niat dulu, bukan untuk mendebat agar menang melainkan untuk menyelesikan masalah itu sendiri. Sekedar itu. Bismillaah yaaa… 🙂

Well. Terimakasih untuk kisah yang diceritakan padaku, itu sangat membuatku bisa memetik pelajaran yang banyak dan membuatku semakin ingin belajar dari pengalaman orang lain dalam menghadapi sesuatu. Pesan saya, ingat kembali tujuan hidup. Pertahankan amal baik dan tingkatkan ibadah. Ingatlah, amal baik tak akan sia-sia. Dan untuk muhasabah, ingatlah akan kematian. Sesungguhnya kematian akan membawa kedamaian ketika masalah yang sangat besar menimpa kita. Ia pun bisa menjadi “pengontrol” hati kita ketika kita sedang dalam keadaan senang yang jika kita senang kita biasanya lupa akan siapa yang memberi kesenangan itu.
Ibn al-Jauzi berkata, “Jika manusia tahu bahwa kematian akan menghentikannya dalam beraktivitas, maka dia pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah dia mati” (Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khathir, juz I, h.22)
Yosh! Selamat belajar mengendalikan perasaan. Bijaksanai kehidupan dan selamat berproses menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu. Semoga bermanfaat ^_^

S.N.H