How Could this Happen to Me (?)

Masih ada waktu yang lebih kekal
Yesterday… Kemarin malam tepatnya… Ada seseorang yang sedang bersedih hati. Dia bercerita padaku. Chatting. Banyak sekali hal. Begitu banyak. Sampai aku sendiri tak punya jeda waktu bahkan untuk berkomentar tentang ceritanya, apalagi memberinya solusi. Dia menyuruhku untuk mendengarkannya terlebih dahulu. Ya, aku pun setia menjadi pendengar baiknya.
Cerita demi cerita kudengar. Aku seakan merasakannya dalam bayangan pendengaranku. Dan setelah beberapa cerita tersalurkan ke telingaku aku tersentak. Sentakan dari salah satu part cerita yang mungkin memang sebagai puncak permasalahannya. Klimaks. Hingga tak tahu bagaimana harus berbuat. Penyesalan demi penyesalan yang sangat terasa ketika teringat kenapa dia melakukan ini-itu, kalimat “seandainya”, kemudian menjalar ke bagian menyalahkan yang lain dimana akhirnya dia menyalahkan takdir. Takdir adanya orang-orang yang memang diberikan Tuhan untuk mengisi hari-harinya itu dengan perannya masing-masing, dimana ia sampai ingin semua yang saat ini sedang ia anggap sebagai “perusuh” hidupnya itu lenyap, tak ingin ada di sekitar mereka. Dan ia hanya bisa menangis karena tak dapat berbuat apa-apa. Ya, tak dapat berbuat apa-apa. Ketika merasa terlalu lemah untuk menyerang, padahal seharusnya bisa membalas. Ia tak ingat bagaimana alur cerita orang-orang yang berhasil membuat kacau harinya itu bisa melakukan hal-hal yang tak diinginkannya. Yang pasti helaan nafas panjang menandakan ia benar-benar dibuat putus asa. Nyaris, entah sampai mana kenyarisan itu. Sedikit agak jauh mungkin.
Aku pun hanya bisa menatapnya. Hingga dia mempersilakanku berkomentar dan memberikan solusi terbaik. Aku masih berpikir keras bahasa apa yang kiranya bisa kuberikan padanya, setidaknya untuk meredam egonya terlebih dahulu. Kemudian aku berkata,”Kamu hidup dimana sih?”
“Heh? Maksudnya?”
“Ya kamu itu sekarang hidupnya ada dimana? Mudeng?”
“Engga. Em..bumi gitu maksudnya?”
“Hehe iya. Nah kan hidup di bumi cuma bentar, inget aja waktu perbandingan antara bumi dan langit. Cuma beberapa menit di bumi tuh.. Sabar bentar…”
“Emang dipikir ga kerasa lama apa kalo njalanin. Kaya ga pernah dapet masalah yang besar aja kamu”
“Istighfar…” (sambil kasih emot senyum)
“Trus gimana…”
“Em… kamu pernah denger ga sih bedanya orang sabar dengan orang yang suka marah-marah, memaksakan kehendak, membalas, dsb?”
“Ya beda lah. Kan sabar diem aja, ngalah, tapi.. Ah malesin! Capek tau sabar terus. Udah ga mempan yo kalo nasehatin nyuruh sabar doang tuh.”
(emot ketiwi) “Iya, iya.. yaudah gini deh, aku kasih tau aja nih ya.. Kalo orang sabar itu secara ga sengaja udah memohon pada Tuhan untuk membalas lhoh. Nah, kalo orang yeng kedua tadi tuh, orangnya ibarat maksain kehendak tanpa ridhoNya. Kalo aku sih pilih yang pertama. Udah dapet pahala sabar, trus dapet bonus pembalasan otomatis lagi dariNya ^_^ ”
“Em.. Gitu ya? Emang pasti dibales ya?”
“Ya iya.. Tapi ya perkara Tuhan mbalesnya gimana ya terserah Dia.. Yang penting kita yakin aja dulu.. Gimana? Mau?”
“Hemt..”
“Tapi ga perlu doain yang jelek-jelek, ga perlu mohon-mohon juga biar dibales sejelek-jeleknya, hehe..”
“Kenapa? Kan aku korban”
“E-e-e, Siapa sih yang ga pernah melakukan kesalahan? Siapa juga sih yang ga pernah merasa terdzalimi? Pasti kita semua pernah mengalaminya kan? Nah… Mungkin dia sedang stress, atau ada faktor lain juga yang bikin dianya bersikap kaya gitu”
“Ya itu masalahnya dong, kalo stres ya gausah lampiasin ke orang lain gitu lhoh..”
“Ya itu dia masalahnya buat kamu, kan kamu jadi korban kan hehe”
“Hash…”
“Ya sekarang gini, kalau kamu berhasil dibuat nge-down sampe malas memikirkan hal-hal lain yang lebih penting tuh sama mereka-mereka, bukannya mereka malah berhasil? Bersuka ria tuh mereka di hatinya bisa menang melawan kamu. Kamunya kan ngalah tuh, nah biar impas, pakenya pedang sabar aja.. Aku kutip kalimat dari temenku ya.. “Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan tidak semua hal harus ditanggapi bukan?” tuuuh… jawab coba, iya, atau engga?”
“Iya sih.. (emot senyum)
Ya. Kalimat penghibur coba kusiramkan ke hatinya, agar tertutup api yang terlalu besar membara padanya saat itu. Entah apa yang kemudian dirasakannya tapi semoga hati dan imannya kuat kembali. Dan chatting pun berhenti dengan saling mengucap salam “mesra”.
Memang. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan tidak semua hal harus ditanggapi. Sungguh. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan selain meratapi nasib. Ingat kan firman-Nya, yang artinya berbunyi “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran
Maka biarkan… Biarkan saja… Masalah ada memang untuk dihadapi. Kunyah saja perlahan sedikit demi sedikit masalah itu dengan lembut. Jika memang masalah itu masih terasa amat dan sangat berat untuk dikunyah, tak habis-habis dan malah semakin pahit karena tak kunjung bisa ditelan, maka beristirahatlah sejenak. Lihat ke belakang, tanya pada diri sendiri apa sih yang salah sampai-sampai masalah seberat itu datang? Kalau memang selama ini proses hidup kita dirasa sudah ada di jalan-Nya, benar dan jujur prosesnya, maka bisa jadi memang teman-teman kita atau orang-orang di sekeliling kita dihadirkan untuk menguji seberapa besar dan kuat keyakinan kita pada kuasa-Nya atas diri kita. Maka ketika diri sudah sampai puncak ego negatif, menganggap orang lain sebagai “perusuh” hidup, istighfarlah. Lalu? Ya sudah, sabar saja, biarkan dulu. Toh harga diri juga tidak ditentukan oleh perkataan orang. Ibarat “biarkan anjing menggonggong dan kabilah tetap berlalu”. Tapi bukan berarti lantas tak peduli dengan masalah itu lho yaa. Masalah tetap harus diselesaikan agar tak menjadi PR hidup kita. Agar tenang tak ada tanggungan. Pendapat berseberangan itu wajar, namanya juga manusia. Maka berpendapatlah sebatas apa yang kita butuhkan untuk menanggapinya. Luruskan niat dulu, bukan untuk mendebat agar menang melainkan untuk menyelesikan masalah itu sendiri. Sekedar itu. Bismillaah yaaa… 🙂

Well. Terimakasih untuk kisah yang diceritakan padaku, itu sangat membuatku bisa memetik pelajaran yang banyak dan membuatku semakin ingin belajar dari pengalaman orang lain dalam menghadapi sesuatu. Pesan saya, ingat kembali tujuan hidup. Pertahankan amal baik dan tingkatkan ibadah. Ingatlah, amal baik tak akan sia-sia. Dan untuk muhasabah, ingatlah akan kematian. Sesungguhnya kematian akan membawa kedamaian ketika masalah yang sangat besar menimpa kita. Ia pun bisa menjadi “pengontrol” hati kita ketika kita sedang dalam keadaan senang yang jika kita senang kita biasanya lupa akan siapa yang memberi kesenangan itu.
Ibn al-Jauzi berkata, “Jika manusia tahu bahwa kematian akan menghentikannya dalam beraktivitas, maka dia pasti akan melakukan perbuatan dalam hidupnya yang pahalanya terus mengalir setelah dia mati” (Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khathir, juz I, h.22)
Yosh! Selamat belajar mengendalikan perasaan. Bijaksanai kehidupan dan selamat berproses menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu. Semoga bermanfaat ^_^

S.N.H

Leave a comment