What Happened on the Crossroads

Aku masih terduduk, menunggu di persimpangan. Menatap orang-orang yang lalu lalang berjalan, yang terkadang bertubrukan lewat benang jalan takdirku dan takdir manusia lain yang bertemu, bergesekan. Ramai langkah-langkah manusia, tapi tanpa suara. Lengang.

5790_4_Klavier-Pixabay

Klavier Symbolbild, Quelle: Pixabay

๐ŸŽง๐ŸŽต When you try your best but you don’t succeed~
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can’t sleep
Stuck in reverse ๐ŸŽต๐ŸŽถ
When the tears come streaming down your face ๐ŸŽถ
‘Cause you lose something you can’t replace ๐ŸŽถ
When you love someone but it goes to waste ๐ŸŽถ
What could it be worse?
๐ŸŽต๐ŸŽถ Lights will guide you home~
๐ŸŽถ๐ŸŽถ๐ŸŽถ๐ŸŽถ

Hari ini, lagi-lagi aku ingin bercerita tentang apa yang belum lama kulalui. Tapi sepertinya akan kuceritakan cuplikannya mulai dari awalnya saja agar sedikit runtut jalan kisahnya. Ah, sepertinya ini nanti akan mirip diary online. Nikmati saja ya? โ˜บ

Saturday Pekan Pertama

Hari ini tanggal tujuh September. Aku sampai rumah kontrakan ini hampir pukul 4 sore, sepulang dari memasukkan antrian jahitan kebaya untuk bridesmaid resepsi pernikahan temanku yang akan melangsungkan akad nikahnya tanggal 3 Oktober nanti. Aku sampai rumah beberapa menit sebelum masuknya pesan whatsapp seputar hal yang membuatku kembali bimbang malam ini. Bimbang lagi, bimbang lagi.
Iya, Mas. Dengarkan saja ya? Meski mungkin kau sudah bosan.

Wait. “Mas”..? Iya, aku masih ingin menyapamu. Jadi abaikan saja jika kamu tidak berkenan dengan sapaan itu. Cukup skip kata tersebut, lalu lanjutkan saja perjalananmu membaca kisah ini ๐Ÿ™‚

.

.
Ini hari Sabtu, Mas. Weekend. Seperti biasa, hari ini dianggap sebagai hari yang menyebalkan bagi sosok-sosok single sepertiku.
Juga hari yang berat bagi jiwa-jiwa yang pernah terikat. Seringnya demikian. Tapi malam ini, ada satu jiwa yang terlihat acuh dengan kondisi laranya. Dia, bahagia.

.

.
Laki-laki ini tersirat begitu senang saat mendapat balasanku yang mengiyakan ajakan makan malamnya, Mas.
Dia mengajakku sore tadi. Aku dengan segala kebimbanganku begitu lama memutuskan. Sampai akhirnya kisaran pukul 19-an, dia memutuskan menjemputku. Dan aku yang belum lama menguapkan embun mataku akibat teringatmu ini bergegas mengenakan jilbab dan tas yang warnanya sedikit menyimpang tapi masih bisa ditoleransi untuk sekedar dibawa santai. Tak lupa kacamata minus yang kini menemani perjalananku sehari-hari.

.

.
Dia menghentikan motornya di parkiran yang sama dengan parkiran kita pertama kali memutuskan untuk bertemu. Entah apa yang membuatnya memilih tempat makan itu, tapi bagiku dia melakukan kesalahan, yang sayangnya aku tidak bisa mengingatkannya bersebab tak ada alasan untuk menolak kesana. Aku duduk. Bersyukur tempat makan yang dia pilih tidak sama dengan tempat makan kita saat itu, Mas. Namun tetap saja, bayanganku penuh tentangmu.
Lagu “Pelangi di Matamu” dinyanyikan oleh grup penyanyi disana –yang aku tidak tertarik untuk mencari tau tentang siapa saja personilnya. Lagu lama yang menemani makan malam kami, which is hal itu sempurna membuatku melamun di depan laki-laki ini. Lagu pertama darimu untukku yang kamu senandungkan dengan melodi khas darimu. Mengangankan kembali bagaimana nadamu melantunkannya padaku saat itu, melayangkan bayang tentang kata “kita” yang bagiku masih begitu bermakna, pun semakin lekat terasa sentuhan artinya saat reffnya terdengar sampai ke telingaku. Mendobrak paksa perasaanku. Luluh.
.
.
Dia yang ada di depanku menyodorkan berbagai cerita padaku, Mas –yang tidak kujawab jika itu bukan pertanyaan. Aku masih saja pendiam, yang terlihat masih selalu bertindak sebagai perempuan berparas angkuh dan sok lembut di depan manusia. Sejatinya? Tak ada yang tau kecuali aku dan orang-orang yang kupilih.
Entah apa yang dia pikirkan, malam ini dia terlihat begitu menikmati makan malamnya. Aku? Berusaha saja kunikmati seporsi chicken steak yang bagiku kuahnya masih kurang itu.
Lalu menikmati prosesku beradaptasi dengan obrolannya yang semakin lama semakin kurasa hambar, terlebih saat akan berpamit. Aku, terus memandangi tempat bekas kita duduk. Juga memandangi penyanyi yang sedang “manggung” disana, menyanyikan lagu berikutnya dari Seventeen berjudul “Kemarin”.
#exhale~

Purnama ke-15

Berpindah masa, berganti cerita. Hari ini hari Minggu, sering kusapa sebagai Ahad. 15 September 2019.
Kamu tau, Mas? Aku suka kerlipan lampu. Entahlah, begitu menenangkan ketika jutaan kerlipan itu terpajang diantara pekatnya malam. Termasuk kerlipan bintang diatas sana. Tapi sungguh, semalam kerlipan lampu yang menemani pekerja di PLTU begitu membuat terbelalak mataku ini memandangnya. Indaaaaah sekali Mas, pemandangannya dari atas sana, dari tanah yang lebih tinggi dari tempat bangunannya dibangun.
Iya Mas, semalam aku pergi ke PLTU. Tidak, bukan memasuki tempatnya. Aku sekedar menikmati pemandangannya di atas jalanan aspal, tepat di belokan yang dulu aku sempat berhenti disana sepulang dari Bromo.
Benar-benar indah susunan kerlip dari bangunannya, sinarnya, pantulannya. Terekam jelas di memori hasil potret alami dari anugerah mata dariNya ini.

20190921_155049

Hari ini hari pertengahan di Bulan September. Itu artinya semalam adalah malam purnama. Iya Mas, aku bisa menikmati purnama sebagai point of interest langit September ke-15 semalam, di daerah sekitar PLTU itu. Purnama yang sempurna, yang sempat kuceritakan di beberapa kalimat sebelum ini.
Aku sungguh lekat memandangnya yang tergantung dengan begitu ajaib di atas sana. Hasil ciptaan Sang Maha yang begitu mempesona, indah dan rapi tak terkira.
Entahlah aku memikirkan apa, Mas. Aku terpana melalui tatapanku pada rembulan yang nampak asli kokoh diantara arakan mega yang membuatnya menawan itu, dengan gerakan samar seperti menggelinding melintasi awan-awan malam. Cuek sekali melihatku yang sesekali bermain bersama anak kucing liar yang masih imut-imut itu. Kitten yang sepertinya remaja nanti ia akan menjadi super manja. Qodarullaah, suasana begitu damai, Mas. Angin sepoi lembut menimpa wajah, sedikit dingin, tapi dinginnya bisa teralihkan oleh cahaya-cahaya di tanah pembangkit listrik tenaga uap di seberang sana.

.

.

Tidak hanya sapuan angin, tetapi purnama yang sepertinya juga menjadi saksi ramainya Pacitan oleh Rontek tahun ini seperti tahu apa yang aku butuhkan. Iya, cahayanya begitu benderang, menyinari bumi Pacitan ini, menyapu rata tanah di kota kecil yang kuinjak kini, turut mendukung damainya suasana malam ini. Membuat aku yang bukannya ikut senang meramaikan Rontek di pusat kota melainkan malah menepi di bagian timur –entah di desa mana ini, betah berlama-lama memandangi kerlipan-kerlipan itu sampai larut. Tanpa terganggu mendung sedikitpun.

20190917_084056

Blur is life. Hahaha

๐ŸŽง I’m sorry but~
Don’t wanna talk.
I need a moment before i go๐ŸŽต

Rasanya bersyukur sekali bisa mengingatmu dalam tenang seperti malam ini, Mas. Dengan damai di bawah sinar rembulan dan pancaran cahaya-cahaya indah berkerlipan.
Maaf mas, memang sekali waktu aku kembali teringatmu. Dan memang sampai saat ini aku masih saja belum bisa menghapusmu. Aku sungguh membutuhkan waktu untuk bisa benar-benar pergi jika ianya adalah seseorang yang begitu berarti. Iya Mas, aku masih saja terduduk disini. Di persimpangan jalan saat kamu memutuskan berbelok pergi sendiri sedangkan aku masih dalam kebimbangan harus mengikutimu atau menuju cabang jalan yang satunya lagi. Jika aku berbelok ke arahmu, cahayaku hilang, dan aku tidak bisa menjamin apakah aku bisa menemanimu dengan baik karena kehilangan cahayaku, juga tidak bisa menjamin apakah aku bisa kembali menemukan jalanku di tengah jalan bersamamu. Maka aku memilih berhenti. Disini. Menunggu takdir apa yang menujuku nanti.

.

.

Aku berusaha merawat diriku sendiri, Mas. All of my medicines disertai tempat-tempat yang kukunjungi: Trenggalek, Blitar, Grup “Koplag”, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, Bromo, Pancer Door, Teleng Ria, Girimanik Waterfall, Beiji Park, Bukit Bintang, kerlipan PLTU, Yogyakarta dan tempat-tempat lain, yang dengan begitu indahnya telah mencoba menghiburku, namun sedikit kusia-siakan karena niatku yang hanya sekedar melampiaskan akibat-akibat dari sayatan di hati saat itu.
Waktu yang tidak singkat, Mas. Waktu yang waktunya sendiri menjadi lebih lama dengan setiap harinya dibayang-bayangi oleh mimpi tentangmu, suaramu, pertemuan denganmu, obrolan yang menyebutkan namamu, dan segala hal yang bersangkutan denganmu. Belum lagi perasaan cemburuku, yang masih saja selalu mendesak, membuat jalan nafas sedikit sesak, berakibat refleks basah di ujung kelopak.

.

.

Iya Mas, aku masih sering cemburu. Cemburu dengan dia yang selalu bisa ada di dekatmu. Siapa..? Banyak. Teman-temanmu, pasienmu, rekan kerjamu, keluargamu, dan siapapun itu. Aku cemburu karena mereka bisa ada di sampingmu sepanjang waktu. Bisa senantiasa bercengkrama denganmu kapanpun mereka mau. Bisa dengan mudahnya menghubungimu saat mereka ingin menghubungimu, entah sekedar obrolan biasa atau itu suatu kebutuhan. Sedangkan aku…
Aku yang kini bahkan ketika membutuhkanmu, benar-benar saat membutuhkanmu pun, harus mencari orang lain, siapa kiranya yang bisa membantuku selainmu. Hah, apalagi ini haha.

.

.

Tapi tenang saja Mas, ingatan-ingatan itu kini tidak seberantakan tulisan-tulisanku yang telah lalu.
Hanya seperti saat aku masih merasa nyaman bersamamu saja Mas -yang kini pun nyatanya masih kurasa nyaman meski itu sekedar bayanganmu. Sungguh berbeda dengan saat aku dilanda kalut kala itu. Berkat-Nya, Mas. Sungguh apa daya aku tanpa doppingan-doppingan dariNya. Kusyukuri sekali damai memori malam ini. ๐Ÿ˜Š

Langit September ke-19

Kau membenci ayahmu karena kau membenci diri sendiri yang tidak mampu menghentikan, bahkan mengubah perilaku jahat ayahmu. Mau bagaimana pun, dia tetap ayahmu. Dan yang menariknya, apakah ibumu membenci ayahmu? Dia ternyata memilih tidak. Dia memilih tetap setia berada di sisi suaminya. Meski dipukul, ditendang, dijambak, ibumu memilih tetap menyayanginya. Kau tidak bisa memahami jalan pikiran ibumu karena bertolak belakang sekali. Tapi bagi ibumu, dia mudah sekali memahami keputusannya. Dia tidak membenci dirinya yang telah keliru menikah. Tidak membenci dirinya yang tetap bertahan, kenapa tidak sejak dulu pergi. Dia tidak benci itu semua. Dia terima sepenuh hati…
.
.
Pukul 11 menjelang siang. Novel “Rindu” ini masih saja sering kubuka. Aku belum mengantuk. Ngga tau nanti kalau habis Dzuhur. Hari ini seharusnya aku libur kerja, tapi harus memasuki shift temanku, Indri, yang dulunya dia sudah memasuki shift kerjaku sehingga aku harus membayar kebaikannya itu di hari ini. Nanti.
Bab di novel ini banyak sekali, Mas. Aku susah payah menamatkannya. Kuseling dengan buku bacaan lain saking tebalnya. Tidak bosan, hanya sedikit berat karena sedikit mengajak berpikir ๐Ÿ˜
Maka aku mendapat sedikit banyak pelajaran juga dari buku itu. Sering kucuplik kalimat-kalimat kerennya. Termasuk yang sudah kutulis di paragraf di atas tadi, di bawah subjudul kali ini ๐Ÿ˜Š

.

.

Maka Mas, demi memahami cuplikan kalimat berat tadi, sungguh itu artinya aku sama sekali tidak membencimu. Justru aku masih begitu menyayangimu. Sangat menyayangimu. Hanya ketika ada satu keputusan itu, kala itu ada perang dadakan yang muncul di otakku. Maka saat itu juga kemungkinan terbesar yang ada hanyalah aku sedang membenci diriku sendiri. Diriku yang tidak mampu mencegah kejadian yang dihadapkan di depanku, mencegah sesuatu yang aku benci, yang aku tidak bisa menerimanya detik itu juga. Iya Mas, aku sejatinya membenci diriku sendiri. Diriku yang belum mampu menerima “petir” dariNya, yang masih begitu kurang ilmu untuk bisa memahami situasi kondisi. Nyaris berakibat fatal bersebab banyak “tapi”.
Maka Mas, semoga setelah ini aku benar-benar bisa memaafkan diriku sendiri… Itu salah satu harapan kecilku di bawah langit September ke-19 yang dibuatNya begitu biru hari ini. Warna langit yang kusukai. Semoga terkabul ๐Ÿ˜‡๐ŸŒน

Sebuah Tanya

Mas, dalam perjalanan sejauh ini, kenapa otakku seringkali memaksa berpikir sedikit lebih berat, ya? (Emang dasar’e dari dulu sukanya hal sepele dipikir kedaleman, hal kecil dipikir berat. Salah siapa?) ๐Ÿ˜…
Yaudah sih. Lanjut
๐Ÿ˜
Padahal bahagia itu terkadang hanya soal ketika kita berhenti berpikir “jika” dan “seandainya”.
Gitu ngga sih, Mas? Hehee..
Tapi Mas, ini tentang masa depanku.
Mmm.. Mas, boleh aku bertanya?
Tidak akan kutunggu jawabanmu, meski aku berharap kamu bisa menjawabnya ๐Ÿ˜Š

.

.

Jika.. Ini baru sebatas jika, Mas.
Jika saja, laki-laki yang sempat kuceritakan di tulisanku sebelum ini, di awal-awal tulisan tadi, dia benar-benar serius ingin denganku, apa aku salah jika aku menjawab bahwa aku tidak bisa melanjutkan perjalanan bersamanya..?
Apa aku sungguh akan dibenci jika menjawab bahwa dia bukan sosok yang aku cari..?
Apa aku benar-benar akan terhina jika aku kembali menolak seseorang yang dengan baiknya mengorbankan apa yang dia punya untukku?
Bagaimana jika dia merasa berkorban sedangkan aku dianggap tidak menghargai pengorbanannya..?
Mas, aku tidak pernah meminta dia menyukaiku… Toh perasaan suka adalah fitrah dariNya, bukan?
Dan, Mas… bukankah itu bukanlah sebuah ketulusan pengorbanan jika jiwa masih merasakan kalau diri sedang berkorban..? Maka bagaimana..? Bagaimana langkahku selanjutnya..? Ah, bahkan kini aku masih berhenti melangkah. Khawatir salah arah.
Hei Mas, bahkan dari saat ini aku tahu bahwa aku tidak akan bisa bersamanya…
#exhale~
.
.
Kini subjudul wordpressku kali ini bukan hanya “sebuah tanya”, tapi bercabang menjadi banyak sekali tanya. Entah kapan akan terjawab. Kita tunggu saja ๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

IMG-20190916-WA0001

 

โš˜
~S.N.H